Mendirikan Shalat Jum’at pada masid yang berdekatan
Jika keadaan menuntut dilaksanakannya shalat Jum’at lebih dari satu masjid di satu kampung, hal ini tidak mengapa. Misalnya, masjid yang biasa untuk Jum’atan sudah tidak bisa menampung banyaknya jamaah karena sempitnya masjid, atau antar warga terjadi pertikaian yang apabila disatukan Jum’atannya akan timbul kekacauan dan tidak bisa didamaikan, dan yang semisalnya. Adapun apabila Jum’atan dilaksanakan di banyak tempat (masjid) tanpa ada hajat (tuntutan) demikian, hal ini menyelisihi sunnah dan menyelisihi apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para khulafarasyidun berada di atasnya. (Lihat Fatawa Arkanil Islam hlm. 390)
Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah menerangkan, “Suatu hal yang maklum bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membedakan secara praktik amaliah antara Jum’at dan shalat lima waktu. Sungguh telah kuat (riwayat) bahwasanya di Madinah banyak masjid yang didirikan shalat jamaah …
Adapun Jum’atan dahulu tidaklah berbilang. Jamaah masjid-masjid yang lain semuanya mendatangi masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu Jum’atan di sana. Pemisahan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam secara amaliah antara shalat jamaah dan shalat Jum’at tidaklah sia-sia. Jadi, ini seharusnya dicermati. Meskipun ini bukan menjadi syarat (sahnya Jum’atan) … ,
setidaknya hal ini menunjukkan bahwa berbilangnya Jum’atan tanpa ada keperluan yang mendesak adalah menyelisihi sunnah3. Apabila seperti itu urusannya, seyogianya dicegah untuk tidak (terjadi) banyaknya Jum’atan dan bersungguh-sungguh agar Jum’atan disatukan sebisa mungkin dalam rangka mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat setelahnya. Dengan demikian, akan terwujud secara sempurna hikmah disyariatkannya shalat Jum’at dan faedah-faedahnya.
Akan berakhir pula perpecahan yang muncul karena dijalankannya Jum’atan di setiap masjid yang besar dan masjid yang kecil, sampai-sampai sebagian masjid (yang diadakan Jum’atan) itu hampir saling menempel (sangat berdekatan). Sebuah hal yang tidak mungkin dikatakan boleh oleh orang yang mencium bau fikih yang benar. (al-Ajwibahan-Nafi’ah hlm. 47) Demikianlah beberapa hal yang berkaitan dengan shalat Jum’at yang bisa kami tampilkan. Tentu masih banyak hal yang belum bisa disebutkan di ruang yang terbatas ini. Atas segala kekurangan dan kekhilafan, kami meminta maaf. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Sumber; darussalaf.or.id/fiqih/tata-cara-shalat-jumat/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar